Tanaman Hibrida dan GMO, Apa Bedanya?
Pernahkah terlintas dalam pikiran kita, bagaimana makanan yang kita konsumsi setiap hari diproduksi hingga akhirnya sampai di piring kita? Apakah makanan yang kita konsumsi sudah diperlakukan secara baik, sehat, dan berkelanjutan? Belakangan ini, kesadaran terhadap pola makan yang berkelanjutan memang mulai meningkat di kalangan masyarakat. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi para pelaku pola makan berkelanjutan adalah sayuran hasil rekayasa genetik atau di luar negeri lebih dikenal dengan sebutan GMO (Genetically Modified Organism).
Proses rekayasa terhadap suatu benih tanaman untuk menghasilkan tanaman yang diharapkan oleh petani dan konsumen sebetulnya sudah ada sejak dahulu. Hal ini kita kenal dengan sebutan benih hibrida. Lalu, apa perbedaan antara tanaman hibrida dan rekayasa genetik?
Tanaman Hibrida
Tanaman hibrida adalah tanaman yang diperoleh dari hasil perkawinan silang antara dua organisme dari satu kingdom yang sama. Contohnya, perkawinan silang antara wortel liar dan wortel lokal. Jadi, tanaman yang dikawinkan masih memiliki jenis yang sama, tapi memiliki varietas yang berbeda. Perkawinan silang ini bertujuan untuk menghasilkan jenis tanaman terbaik yang menggabungkan sifat-sifat terbaik dari dua varietas yang berbeda.
Proses perkawinan silang ini dapat dilakukan secara alami dan juga dengan bantuan manusia. Perkawinan secara alami biasanya terjadi akibat perilaku serangga atau pergerakan angin. Selain itu, proses perkawinan silang ini juga dapat terjadi dengan bantuan manusia. Jika kita berbicara tentang keamanan produk hibrida, menurut saya pribadi, produk hibrida ini masih tergolong aman karena bahkan proses perkawinan silang juga dapat terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia.
Rekayasa Genetik
Berbeda dengan tanaman hibrida, tanaman dengan rekayasa genetik dikawinkan secara tidak alami oleh manusia. Biasanya, tanaman rekayasa genetik melibatkan dua organisme yang berasal dari kingdom yang berbeda. Contohnya, menggabungkan genetik dari suatu bakteri dengan tanaman untuk menghasilkan jenis tanaman baru. Contoh lainnya adalah kacang kedelai hasil rekayasa genetik yang diproduksi oleh perusahaan bernama Monsanto pada tahun 1996. Kacang kedelai ini direkayasa sedemikian rupa untuk tahan terhadap obat pembunuh gulma atau tanaman liar.
Jika dilihat dari segi produktivitas, tanaman rekayasa genetik ini memang lebih menarik. Namun, dari segi keberlanjutan lingkungan, tanaman rekayasa genetik ini dikhawatirkan dapat mengganggu keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Selain itu, dari segi sosial dan ekonomi, ternyata tanaman rekayasa genetik ini juga tidak menguntungkan. Kita lihat contoh kasus yang terjadi di India.
Krisis di India
Pada tahun 1997, Monsanto mulai datang ke India dan mempromosikan benih kapas hasil rekayasa genetik. Sebelumnya, petani di India membudidayakan benihnya secara mandiri dan biaya yang dikeluarkan sebesar 7 Rupe. Namun, kini mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 1.700 Rupe untuk keperluan benih. Perusahaan tetap menjanjikan petani dengan hasil panen yang bagus sehingga banyak petani yang akhirnya tergiur dan beralih ke benih rekayasa genetik.
Namun, ternyata benih yang ditanam lebih membutuhkan pengeluaran seperti pestisida dan pupuk yang lebih mahal. Meskipun tanaman rekayasa genetik ini dipercaya dapat mengeluarkan insektisida (pembunuh serangga) secara sendirinya, tapi ternyata tanaman ini masih memerlukan pesitisida untuk membunuh jenis hama lain. Oleh karena itu, petani harus membayar modal lebih banyak untuk hasil yang sedikit. Karena kekurangan modal, akhirnya banyak petani yang terjerat hutang dan jatuh miskin. Bahkan, banyak petani di India yang akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Pada tahun 2019 saja, sebanyak 10.281 orang yang bekerja di sektor pertanian di India mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Lalu, Bagaimana dengan Perkembangan Tanaman Rekayasa Genetik di Indonesia?
Ternyata 70% dari kedelai yang dikonsumsi di Indonesia diperoleh dari hasil impor dari Amerika yang diproduksi dengan rekayasa genetik. Jadi, sebenarnya produk hasil rekayasa genetik sudah dapat kita temui di kehidupan kita sehari-hari seperti pada tempe, tahu, dll.
Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk terhindar dari produk rekayasa genetik adalah dengan membeli sayuran langsung dari petani lokal yang kita ketahui sehingga kita dapat memastikan apakah sayur yang kita konsumsi mengandung rekayasa genetik atau tidak. Selain itu, kita pun perlu mendorong upaya penamaan label yang jelas seperti label organik, non-pestisida, non-rekayasa genetik agar kita dapat mengetahui secara pasti produk yang kita beli.
Referensi:
Anugrah, D., & Tirtawijaya, G. (2020, September 02). Banyak orang Indonesia tidak menyadari makan tempe dari kedelai hasil rekayasa genetik AS. The Conversation. Didapat dari https://theconversation.com/banyak-orang-indonesia-tidak-menyadari-makan-tempe-dari-kedelai-hasil-rekayasa-genetik-as-142050
Castaldo, N. (2016). The Story of Seeds. Boston dan New York: Houghton Mifflin Harcourt.
Sengupta, R. (2020, September 03). Every day, 28 people dependent on farming die by suicide in India. DownToEarth. Didapat dari https://www.downtoearth.org.in/news/agriculture/every-day-28-people-dependent-on-farming-die-by-suicide-in-india-73194